“Aku akan menjauh”
katamu dengan wajah penuh ragu. “untuk apa menjauh kalau nyatanya akulah
jawaban doamu” jawabku penuh teguh. Tak sepenggal kata dan tak satupun goresan
pada raut wajah, telah menjawab pernyataan yang baru saja ku lontarkan. Tanpa
jawaban adalah sebuah jawaban. Enyah sudah punggungmu hanya dalam satu hembusan.
Aku melangkah menuju selatan sedang kau menuju yang berlawanan. Gelap pekat
lorong yang ku tempuh, berkabut duka aku memantapkan langkah. Walau telapak
penuh nanah akan keraguan , terpaksa ku acuhkan. Bertemankan gundah, aku
menumpuh arah sembarangan.
Sejenak aku putuskan
untuk tak terburu waktu. Mencoba memutarnya kebelakang, memaksa jarum jam
melangkah mundur. Membawa pada suatu masa, saat kamu dan aku berbentuk sesuatu
yang utuh dan satu. Tatapan mantap dan penuh harap akan masa mendatang, yang
nampak tegar walau ombak kuat menghantam. Kamu yang seolah mampu menjawab
segala keraguan, ku sambut haru bak luluh lantaknya kegundahan. Kamu menang,,
membuatku gagap tak berkata. Semesta seolah menjawab semua sujud dan tekuk
lututku sepanjang masa. Seolah terbayar sudah gundah yang kutabung satu dasawarsa.
Tunggu, alat pemutar
waktu rupanya muak aku berpaku pada masa lalu. “Aku tak terpaku pada masa lalu,
ataupun padanya” elakku dalam benak. Namun aku tetap duduk , termangu dan mematung.
Hanya memakan beberapa waktu, nyatanya potongan dongeng aku dan kamu , tanpa
ampun mengoyak sukmaku. Tersadarkan akan penggalan bualan yang kerap kau
lontarkan,yang dulu mampu meluluh lantakkan benteng ke acuhan. Akal sehatku
menggambarkan Tanya cukup jelas akan sosok aneh yang tak kukenal yang kusebut ,kamu.
Puluhan purnama yang
mampu aku dan kamu tempuh, terkalahkan hanya dalam satu waktu. Melelapkan semua
asa dalam sukma, membangunkan penat dan gundah . Tersungkur bak tak bertulang
aku pada sajadah. Memungut satu persatu raga yang bercecer tanpa arah. “Mengapa
semesta tega menorehkan luka dalam dada?” tanyaku berbalut mukenah. Tak berapa
lama, telapak tangan lembut menyentuh bahu lemas tak bertulangku.
Membangunkanku seraya menyadarkan lamunan. Memeluk dengan erat dan berkata
“semua yang enyah, nyatanya tetap ada dalam sukma. Hanya raganya yang tak nyata”.
Dan memang benar, segala yang enyah akan datang pada waktu dan kemantapan yang
tepat. Semua dalam genggamanNya.