Jumat, 01 Juli 2016

Nestapaku, yang tak terbahasakan


“Aku akan menjauh” katamu dengan wajah penuh ragu. “untuk apa menjauh kalau nyatanya akulah jawaban doamu” jawabku penuh teguh. Tak sepenggal kata dan tak satupun goresan pada raut wajah, telah menjawab pernyataan yang baru saja ku lontarkan. Tanpa jawaban adalah sebuah jawaban. Enyah sudah punggungmu hanya dalam satu hembusan. Aku melangkah menuju selatan sedang kau menuju yang berlawanan. Gelap pekat lorong yang ku tempuh, berkabut duka aku memantapkan langkah. Walau telapak penuh nanah akan keraguan , terpaksa ku acuhkan. Bertemankan gundah, aku menumpuh arah sembarangan.



Sejenak aku putuskan untuk tak terburu waktu. Mencoba memutarnya kebelakang, memaksa jarum jam melangkah mundur. Membawa pada suatu masa, saat kamu dan aku berbentuk sesuatu yang utuh dan satu. Tatapan mantap dan penuh harap akan masa mendatang, yang nampak tegar walau ombak kuat menghantam. Kamu yang seolah mampu menjawab segala keraguan, ku sambut haru bak luluh lantaknya kegundahan. Kamu menang,, membuatku gagap tak berkata. Semesta seolah menjawab semua sujud dan tekuk lututku sepanjang masa. Seolah terbayar sudah gundah yang kutabung satu dasawarsa.

 
Tunggu, alat pemutar waktu rupanya muak aku berpaku pada masa lalu. “Aku tak terpaku pada masa lalu, ataupun padanya” elakku dalam benak. Namun aku tetap duduk , termangu dan mematung. Hanya memakan beberapa waktu, nyatanya potongan dongeng aku dan kamu , tanpa ampun mengoyak sukmaku. Tersadarkan akan penggalan bualan yang kerap kau lontarkan,yang dulu mampu meluluh lantakkan benteng ke acuhan. Akal sehatku menggambarkan Tanya cukup jelas akan sosok aneh yang tak kukenal yang kusebut ,kamu.


Puluhan purnama yang mampu aku dan kamu tempuh, terkalahkan hanya dalam satu waktu. Melelapkan semua asa dalam sukma, membangunkan penat dan gundah . Tersungkur bak tak bertulang aku pada sajadah. Memungut satu persatu raga yang bercecer tanpa arah. “Mengapa semesta tega menorehkan luka dalam dada?” tanyaku berbalut mukenah. Tak berapa lama, telapak tangan lembut menyentuh bahu lemas tak bertulangku. Membangunkanku seraya menyadarkan lamunan. Memeluk dengan erat dan berkata “semua yang enyah, nyatanya tetap ada dalam sukma. Hanya raganya yang tak nyata”. Dan memang benar, segala yang enyah akan datang pada waktu dan kemantapan yang tepat. Semua dalam genggamanNya.

1 komentar: