Sabtu, 22 Oktober 2016

Tiga Puluh Hari Lalu

Tibalah waktunya. Jarum jam tak lagi mau dikekang. Dipaksa untuk berhenti meski seper sekian detik.
Aku termangu disini. Dihalaman depan rumah bersama secangkir teh tawar dan sebuah buku kisah klasik. Sederhana memang. Kuhabiskan senja akhir pekan dengan hal yang terbilang cukup substansial. Begitupun tulisan ini.
Tiga puluh hari lalu,aku bersumpah serapah dalam kalbu untuk berhenti melakukannya. Berhenti menulis dengan pena kerinduan serta kesedihan yang menyangkutpautkan aroma hujan didalamnya. Namun, sore ini semuanya telah dilanggar. Haram bagiku dalam menuliskan sepenggal kisah kemarin,mengingat janji yang kuhianati sendiri.
Apalah arti janji,jika nurani dan semesta berkonspirasi memberi izin.
Sore ini adalah waktu sempurna bagiku untuk melakukan ritual. Bangku panjang di halaman depan rumah, beserta aroma tetes hujan yang telah lalu. Masih terlihat jelas butirnya di atas dedaunan pun halaman yang basah. Ditemani secangkir teh tawar, yang tak lagi perlu gula sebagai pemanis. Dengan mengingatmu pada ritual sore ku, sudah lebih dari cukup menjadikan teh ini manis. Buku disampingku ini hanya sebagai pelengkap ritual kali ini. Karena sedari awal aku tidak berencana membacanya.
Rindu yang tak terungkapkan adalah senyata-nyatanya luka. Mengingat, rindu ini tak lagi berhak diungkapkan.

Menarik kembali waktu pada seperempat dekade lalu, adalah awal mula aku menjadikan momen mengingat dirimu dan aku yang masih menjadi kita sebagai ritual. Awalnya aku hanya mengikhtiarkan diri agar terhindar dari lupa. Sesuatu yang paling aku takutkan. Lupa, dilupakan dan melupakan. Semuanya sama. Sama-sama berat dan sakit, pun pilu. Semuanya berjalan lancar, setiap minggu sore pukul empat menjelang senja dimakan malam, aku menyempatkan duduk termenung sambil mengingat "kita". Ritual ini bisa berlangsung dimana saja, entah itu dikamar, dikantor jika ada panggilan kerja atau dimana saja. Namun dari kesemuanya, aku lebih banyak menghabiskannya di halaman rumah dan taman kota. Mengingatmu sambil melihat langit, seolah semesta ikut mengaminkan kerinduan yang tertanam. 

Hingga suatu ketika, aku merasa lelah. Bukan, aku tidak lelah mengingatmu, aku lelah menjadi bodoh dan terlihat tolol tiap kali cermin tempatku berhias menertawakan. Seolah benar katanya bahwa aku seorang pecundang. Bahwa aku seorang delusioner.
Dan memang betul, Ternyata sudah sangat lama kita dipisahkan oleh sesuatu diluar kita. Yang mana segalanya baru bisa ku terima tepat tiga puluh hari yang lalu.
*to be continued.

Sabtu, 01 Oktober 2016

Old but Gold



This picture was taken by me several days ago. It’s not kind of aesthetic picture or something. I just found this interesting cause it reminds me of my father’s favorite musician.
Once I was going to an old store, lil bit far from my dorm, which sell old stuff and some kinda retro things or whatever, idk lol. All I know is I love this place since I entered the gate. Yellow lamps all around the corner room, folks music and indie-pop was playing alternately, the smell of history and something legendary in all part of room.
I thank to my special friend Luqman ibnu for taking me there. I thank him for every new places, new food, new environment, new experience that I’ve never ever been there before. I thank to him for taking me out of my comfort zone patiently (this because I do really hate walking out of my place) and push me beyond my limit, so I know how things work in life. He teaches me spontaneously from his daily talking and his way of thinking. The way he see the world sounds different than mine,. I learn a lot from him. I have become a whole new person because of him. And once again, I thank God for that.