Tibalah waktunya. Jarum jam tak lagi mau dikekang. Dipaksa untuk berhenti meski seper sekian detik.
Aku termangu disini. Dihalaman depan rumah bersama secangkir teh tawar dan sebuah buku kisah klasik. Sederhana memang. Kuhabiskan senja akhir pekan dengan hal yang terbilang cukup substansial. Begitupun tulisan ini.
Aku termangu disini. Dihalaman depan rumah bersama secangkir teh tawar dan sebuah buku kisah klasik. Sederhana memang. Kuhabiskan senja akhir pekan dengan hal yang terbilang cukup substansial. Begitupun tulisan ini.
Tiga puluh hari lalu,aku bersumpah serapah dalam kalbu untuk berhenti melakukannya. Berhenti menulis dengan pena kerinduan serta kesedihan yang menyangkutpautkan aroma hujan didalamnya. Namun, sore ini semuanya telah dilanggar. Haram bagiku dalam menuliskan sepenggal kisah kemarin,mengingat janji yang kuhianati sendiri.
Apalah arti janji,jika nurani dan semesta berkonspirasi memberi izin.
Sore ini adalah waktu sempurna bagiku untuk melakukan ritual. Bangku panjang di halaman depan rumah, beserta aroma tetes hujan yang telah lalu. Masih terlihat jelas butirnya di atas dedaunan pun halaman yang basah. Ditemani secangkir teh tawar, yang tak lagi perlu gula sebagai pemanis. Dengan mengingatmu pada ritual sore ku, sudah lebih dari cukup menjadikan teh ini manis. Buku disampingku ini hanya sebagai pelengkap ritual kali ini. Karena sedari awal aku tidak berencana membacanya.
Rindu yang tak terungkapkan adalah senyata-nyatanya luka. Mengingat, rindu ini tak lagi berhak diungkapkan.
Menarik kembali waktu pada seperempat dekade lalu, adalah awal mula aku menjadikan momen mengingat dirimu dan aku yang masih menjadi kita sebagai ritual. Awalnya aku hanya mengikhtiarkan diri agar terhindar dari lupa. Sesuatu yang paling aku takutkan. Lupa, dilupakan dan melupakan. Semuanya sama. Sama-sama berat dan sakit, pun pilu. Semuanya berjalan lancar, setiap minggu sore pukul empat menjelang senja dimakan malam, aku menyempatkan duduk termenung sambil mengingat "kita". Ritual ini bisa berlangsung dimana saja, entah itu dikamar, dikantor jika ada panggilan kerja atau dimana saja. Namun dari kesemuanya, aku lebih banyak menghabiskannya di halaman rumah dan taman kota. Mengingatmu sambil melihat langit, seolah semesta ikut mengaminkan kerinduan yang tertanam.
Hingga suatu ketika, aku merasa lelah. Bukan, aku tidak lelah mengingatmu, aku lelah menjadi bodoh dan terlihat tolol tiap kali cermin tempatku berhias menertawakan. Seolah benar katanya bahwa aku seorang pecundang. Bahwa aku seorang delusioner.
Dan memang betul, Ternyata sudah sangat lama kita dipisahkan oleh sesuatu diluar kita. Yang mana segalanya baru bisa ku terima tepat tiga puluh hari yang lalu.
*to be continued.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar