Senin, 14 Oktober 2019

Cherish to Another Roller Coaster Years Ahead  


A year ago today (Oct 13) i got married. It was crazy years for us before, not knowing what the future looked like. Then getting engaged and finally getting married. It was the happiest day of my life. you are the best thing that has happened to me. I couldn't ask for anyone better that you.

Things that i always told him was: "We're a team, whatever you lack, i got you. We will balance each other out. Minor setback? we''ll make a major comeback. You need support? i'll be your backbone. I'll keep you motivated and at the top, always. You don't ever have to doubt my loyalty, i always feel appreciated by you. You got me. I got Us. I've learned how to love myself by loving you. As long as we got each other's heart and each other's back, nothing to be worried"

This is how i celebrate our anniversary; by reminiscing the good old times. Just to keep our fire alive. And finding a proper photo of us was harder than i expected and made me realize we hardly take any.

Here's some wise words from wise man:
"your commitment to your partner is also a commitment to work on yourself. They work on them, you work on you, and you both come together committed to giving your best"-AD
"how you gonna win when you ain't right within" sanctuary of thoughtful humans

Dear my very best friend; my husband, thank you for having me as your life companion. Definitely wouldn't trade any of this for the world.
This year it's gonna be even better, insyaa Allah. I love being your wife.

The moment worth cherishing and sharing with this broken world, just to remind us that love is worth it.

Rabu, 09 Oktober 2019

[Review] Melangkah Searah



 " Bertahanlah, mari kita lanjutkan perjuangan ini bersama-sama. Ini bukan soal beruntung atau tidaknya kita mendapatkan dia sebagai pasangan, melainkan soal bersyukur atau tidaknya kita mendapatkannya sebagai teman hidup. Pernikahan ini perlu tumbuh, disirami dengan nilai-nilai kebaikan, syukur, dan sabar agar tak layu dan berbunga dengan indah"

Merupakan salah satu buku terbaik yang pernah ku baca. Aku bukan penggila buku. Aku membaca apa yang memang aku butuhkan. Melangkah Searah karangan Aji Nur Afifah ini ku pilih setelah beberapa kali mencari testimoni kawan-maya tentangnya. Pastinya, sudah menelisik dari penulisnya langsung. Karakter penulis yang biasa disapa Mbak Apik ini tidak jauh berbeda dengan suaminya yang juga penulis, Mas Kurniawan Gunadi atau yang lebih akrab dipanggil Mas Gun.

Melangkah searah merupakan buku non-fiksi yang bisa ku sebut diadaptasi langsung dari kehidupan pribadi penulis. Juga merupakan sekuel dari buku terdahulu yaitu Menentukan Arah. Secara singkat, buku sebelumnya menceritakan dilema seseorang yang hendak melangkah ke jenjang pernikahan. Faktor-faktor pembentuk dilema bisa beragam, dimulai dari diri sendiri, lingkungan keluarga, latar belakang pasangan dll. Karena ku sudah melalui masa itu, jadi tidak lagi tertarik untuk mengetahui lebih dalam. Balik lagi, ku bukan penggila buku. Membaca sesuai kebutuhan adalah prinsip.

Memperoleh buku ini pada edisi perdana saat terbit, membuatku mendapat keberuntungan dengan  adanya catatan singkat nan menancap dari penulis; "Selamat menjalani Keputusan".  Saat menerima buku ini, aku tengah memasuki bulan ke 7 pernikahan. Waktu yang sangat luar biasa dilalui bersama-sama. Dengan membaca catatan dari Mbak Apik, tertegun rasanya. Sambil mengucap syukur dalam hati dan tersenyum. Memang Allah akan kirimkan bantuan bagi hambanya yang bersabar. 
Buku ini menggambarkan bahwa membina rumah tangga dan membentuk keluarga, tak semudah bikin kartu keluarga. Semua proses diawal pernikahan, tidak akan semudah dan seindah cerita-cerita. Seperti jargonnya, Asam Manis Rumah Tangga Muda. Karena menikah tidak hanya seputar soal diri kita sendiri, juga ada pihak lain, pasangan dan keluarga pasangan. Yang kesemuanya di kelilingi latar belakang yang beragam. Tidak menutup kemungkinan akan bertolak belakang dengan diri kita.

Mengutip kalimat dalam buku ini "..walau kadang terasa berat, ingat, ingat.. menikah itu adalah suatu ibadah. Jakikatnya, tiap ibadah adalah indah karena sejengkal lebih dekat dengan-Nya". Menikah adalah ibadah terpanjang yang akan dijalani. Diperlukan bekal luar biasa dan keinginan untuk terus belajar agar lebih khusyu' dalam menjalaninya. Mbak Apik berpesan banyak hal, terutama tentang sabar. Menantang diri untuk menahan sabar pada 6 bulan pertama. Tujuannya untuk membiasakan diri dalam mentoleransi hal-hal kecil yang kurang sesuai dengan diri kita. 

Mbak Apik berkisah dalam buku ini, bawasannya menjadi istri, menantu, ibu yang baik tidak ada buku panduannya. Selayaknya hubungan diantaranya, pasti ada konflik dan kekurangan. Lalu apa yang bisa dilakukan? Mari fokus pada kelebihannya supaya dilapangkan syukurnya. Karena konsep hubungan pada dasarnya sama, siapapun objeknya. Berusaha memahami dulu jika ingin dipahami. Berusaha menerim jika ingin diterima. Berusaha mencintai jika ingin dicintai.

Buku yang berjumlah sekitar 200 halaman ini, tidak hanya membahas seputar hubungan dan peran, namun juga kiat-kiat perencanaan dan pengelolaan keuangan secara padat dan kaitannya dengan keuangan syariah. Secara singkat, dapat kukatan bahwa buku ini bisa dianggap sebagai mini guidebook untuk kita yang sedang berjuang menjadi pendamping terbaik serta membersamai dalam berproses menjadi lebih baik. Semoga bakti kita kepada pasangan, cinta kasih kepada keluarga kecil ini nantinya menjadi amalan yang menemani hingga nanti.

Dari Mbak Apik aku belajar dan menyadari, bawasannya, aku yang tidak bisa apa-apa ini, aku yang kurang bekal ilmu menjadi istri ini, ternyata ngga sendirian. Alhamdulillah masih diberi hidayah untuk terus belajar. Semoga selalu digerakkan hatinya untuk belajar. Karena menjadi istri dan ibu adalah anugerah terindah. Bismillah kawan shalihah, Allah yang akan bimbing kita. insyaa Allah.


Senin, 30 September 2019

#1 Interview session

Which is more important; "Experience or Money?"

One day during a job interview, I was asked by the user, "Do you want to work for experience or make money?"

It took a few seconds for me to respond. Not because I don't know the answer, it's just surprised at this question. In my opinion, as we get older, with a record of work experience and self-competence in a CV, it should be certain if we work to find added value; material and non-material.

Time will not be repeated, and it should encourage our-self that material and non-material values in the form of money and experience are needed. Both go hand in hand, interrelated.
Without degrading the quality of self, I answered "both are things that are needed, because in order to survive, they must go hand in hand".

I need money because there are clothing / food / other needs that must be fulfill, and need experience because we have to be able to survive and continue to grow in life. All of the above is my kind of "survival kit"

That's my story, share yours!

Jumat, 29 Desember 2017

Perjalanan (bagian 1)


Ketika seseorang ditanya tentang makna hidup, jelas mereka memiliki banyak jawaban yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Hidup tidak memiliki satu sudut, pun dua sudut. Tepatnya, hidup tidak memiliki sudut, karena ia tidak akan sempat menyudutkan mereka yang menjalani. Dalam perjalanan kita memahami apa itu hidup, akan di hadirkan cuplikan sisi ke'hidup'an melalui orang lain. Entah kelak akan menjadikan kehidupan lebih hidup atau tetap biasa saja. Satu hal yang pasti, hidup ini tidak hanyak sekedar hidup. Hal yang paling menarik selain keberhasilan dan kegagalan, di dalam hidup juga terdapat momen menemukan dan di temukan.

Menemukan siapa? Perihal siapa yang akan di temukan, biarlah hati yang menjawab. Begitupun dengan sosok yang ditemukan, bukan waktu yang akan menjawab. Tapi dari relung hati sanubari yang akan menjawab.

Terlunta-lunta dan merasa tersesat, pada arah yang telah di tentukan sendiri. Hal tersebut terkadang bukan lagi hal baru bagi mereka yang sedang dalam perjalanan menuju esok. Beristirahat sejenak di persinggahan yang satu ke yang lain, demi melanjutkan perjalanan yang lebih jauh dan menantang. Tidak sedikit kekhawatiran di kisahkan dari persinggahan demi persinggahan. Membuat seseorang lebih banyak mendengar, lebih banyak melihat, dan lebih banyak berpikir, bahwa kehidupan hanya akan menjadi hidup jika memang dihidupi. Setiap orang memiliki caranya masing-masing. 

Pada suatu persinggahan, ia mengajarkan untuk menulis daftar yang memungkinkan dapat membantu menghidupi kehidupan. Keberhasilan adalah hal pertama. Bisa kau rasakan bagaimana rasanya tanganmu bergetar dengan gigi bergemelatuk ketika kamu berhasil meraih sesuatu? ketika kamu berhasil menyelesaikan sesuatu? Hal yang saat pertama kali dirasa tidak mungkin terjadi, akhirnya terjadi. Jantung yang berdetak lebih kencang dari biasanya. Senyum yang tidak lagi di batasi rasa lelah, serta binar mata yang melukis bahagia? Kemudian perjalanan mengajarkan rasa kekecewaan, amarah, dan gelisah melalui daftar kedua; kegagalan. Banyak yang mengira bahwa gagal adalah akhir. Namun juga banyak yang berpikir bahwa gagal adalah awal dari segalanya. 

Pernah kah kau merasakan ketika kedua kakimu tidak lagi kuat berdiri meski beberapa detik lagi kamu masih begitu berenergi? Pernah tidak punggungmu yang tegap mendadak roboh pada apa saja di sekitarmu? keringat yang tadinya mati-matian kau seka, kini kau biarkan mengalir bersama air mata yang ada di bawa permukaan kulit? yang kemudian perlahan membawa kembali rasa kecewa dan kesia-sian? Namun percayalah, menjadi gagal bukanlah hal paling buruk yang terjadi ketika kamu masih di beri kesempatan memperbaiki di hari esok. Yakinlah, ketika gagal tidak ada orang lain yang bisa menguatkan selain dirimu sendiri dan pemiliki hati serta dunia sesisinya.

Tulisan ini adalalah penggambaran dari sebagian kompilasi kehidupan. Singkat memang. Tapi, coba baca lagi akan pesan yang terbesit di dalamnya.

Sabtu, 22 Oktober 2016

Tiga Puluh Hari Lalu

Tibalah waktunya. Jarum jam tak lagi mau dikekang. Dipaksa untuk berhenti meski seper sekian detik.
Aku termangu disini. Dihalaman depan rumah bersama secangkir teh tawar dan sebuah buku kisah klasik. Sederhana memang. Kuhabiskan senja akhir pekan dengan hal yang terbilang cukup substansial. Begitupun tulisan ini.
Tiga puluh hari lalu,aku bersumpah serapah dalam kalbu untuk berhenti melakukannya. Berhenti menulis dengan pena kerinduan serta kesedihan yang menyangkutpautkan aroma hujan didalamnya. Namun, sore ini semuanya telah dilanggar. Haram bagiku dalam menuliskan sepenggal kisah kemarin,mengingat janji yang kuhianati sendiri.
Apalah arti janji,jika nurani dan semesta berkonspirasi memberi izin.
Sore ini adalah waktu sempurna bagiku untuk melakukan ritual. Bangku panjang di halaman depan rumah, beserta aroma tetes hujan yang telah lalu. Masih terlihat jelas butirnya di atas dedaunan pun halaman yang basah. Ditemani secangkir teh tawar, yang tak lagi perlu gula sebagai pemanis. Dengan mengingatmu pada ritual sore ku, sudah lebih dari cukup menjadikan teh ini manis. Buku disampingku ini hanya sebagai pelengkap ritual kali ini. Karena sedari awal aku tidak berencana membacanya.
Rindu yang tak terungkapkan adalah senyata-nyatanya luka. Mengingat, rindu ini tak lagi berhak diungkapkan.

Menarik kembali waktu pada seperempat dekade lalu, adalah awal mula aku menjadikan momen mengingat dirimu dan aku yang masih menjadi kita sebagai ritual. Awalnya aku hanya mengikhtiarkan diri agar terhindar dari lupa. Sesuatu yang paling aku takutkan. Lupa, dilupakan dan melupakan. Semuanya sama. Sama-sama berat dan sakit, pun pilu. Semuanya berjalan lancar, setiap minggu sore pukul empat menjelang senja dimakan malam, aku menyempatkan duduk termenung sambil mengingat "kita". Ritual ini bisa berlangsung dimana saja, entah itu dikamar, dikantor jika ada panggilan kerja atau dimana saja. Namun dari kesemuanya, aku lebih banyak menghabiskannya di halaman rumah dan taman kota. Mengingatmu sambil melihat langit, seolah semesta ikut mengaminkan kerinduan yang tertanam. 

Hingga suatu ketika, aku merasa lelah. Bukan, aku tidak lelah mengingatmu, aku lelah menjadi bodoh dan terlihat tolol tiap kali cermin tempatku berhias menertawakan. Seolah benar katanya bahwa aku seorang pecundang. Bahwa aku seorang delusioner.
Dan memang betul, Ternyata sudah sangat lama kita dipisahkan oleh sesuatu diluar kita. Yang mana segalanya baru bisa ku terima tepat tiga puluh hari yang lalu.
*to be continued.

Sabtu, 01 Oktober 2016

Old but Gold



This picture was taken by me several days ago. It’s not kind of aesthetic picture or something. I just found this interesting cause it reminds me of my father’s favorite musician.
Once I was going to an old store, lil bit far from my dorm, which sell old stuff and some kinda retro things or whatever, idk lol. All I know is I love this place since I entered the gate. Yellow lamps all around the corner room, folks music and indie-pop was playing alternately, the smell of history and something legendary in all part of room.
I thank to my special friend Luqman ibnu for taking me there. I thank him for every new places, new food, new environment, new experience that I’ve never ever been there before. I thank to him for taking me out of my comfort zone patiently (this because I do really hate walking out of my place) and push me beyond my limit, so I know how things work in life. He teaches me spontaneously from his daily talking and his way of thinking. The way he see the world sounds different than mine,. I learn a lot from him. I have become a whole new person because of him. And once again, I thank God for that. 

Sabtu, 10 September 2016

"Do you know how hard it is to say nothing? When every atom of you strains to do the opposite? I had practiced not saying anything the whole way from the airport, and it was still nearly killing me.” 
 Jojo Moyes, Me Before You